Lembaga Komplemen Mahkamah Konstitusi (MK), Apakah Perlu ?

Oleh: Ade Romadhony

Jika ditilik dari sejarah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) secara global, maka hal yang melatarbelakangi adalah kondisi di mana dikhawatirkan terdapat undang-undang/peraturan Negara yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar/Konstitusi sebuah Negara. Hal ini bisa terjadi karena penyusun Undang-Undang mempunyai kepentingan politik tertentu, mengingat para penyusun tersebut (anggota parlemen) mayoritas berasal partai. Pembentukan MK juga berpengaruh terhadap penataan struktur lembaga-lembaga tinggi negara. Posisi MPR yang tadinya berada pada puncak, bergeser menjadi sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain, dan masing-masing adalah pelaksana kedaulatan rakyat, dengan ketentuan sesuai yang dinyatakan pada Undang-Undang Dasar (UUD). Sembilan orang anggota mahkamah konstitusi merepresentasikan tiga unsur lembaga negara yaitu masing-masing-masing 3 orang anggota yang diajukan oleh presiden, DPR dan mahkamah agung.

Dalam melaksanakan tugasnya, MK pernah beberapa kali menuai kritikan, antara lain pada kasus berikut :

  1. Dihapuskannya larangan hak pilih bagi eks anggota Gerakan 30 S/PKI
  2. Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan pasal 50 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang berarti memperluas kewenangan MK sendiri

Dari beberapa contoh tersebut tentang putusan MK yang menimbulkan kritikan, terlihat bahwa perdebatan muncul karena posisi MK yang mempunyai kekuasaan melawan keputusan DPR dan Presiden. MK hanya terdiri atas 9 hakim, sementara DPR terdiri atas 550 orang. Didasarkan bahwa alasan pembentukan MK adalah kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang, dan beberapa keputusannya mengundang kritik, maka terdapat peluang untuk membentuk sebuah lembaga sebagai komplemen MK. Berikut akan dipaparkan analisis tentang kemungkinan ada atau tidak adanya lembaga komplemen MK :

  1. Adanya lembaga komplemen MK

Dengan adanya lembaga komplemen MK, maka hasil pekerjaan MK berlaku sebatas “rekomendasi”, dan dalam rangka finalisasi keputusan, memerlukan persetujuan dari lembaga komplemen tersebut. Hal ini dapat menjembatani kritika terhadap kedudukan MK yang seolah-olah melebihi DPR, padahal jumlah anggotanya berbeda jauh. Namun keberadaan lembaga komplemen tentu membutuhkan pengaturan lebih lanjut, terutama dalam struktur lembaga negara. Serta perlu dipikirkan, siapa yang mestinya berhak duduk dalam lembaga komplemen tersebut ? Mengingat fungsi lembaga komplemen yang nantinya akan menjembatani kepentingan antara pembuat Undang-Undang dan penguji Undang-Undang.

  1. Tidak adanya lembaga komplemen MK

Permasalahan di negara ini tidak akan selesai hanya dengan membuat lembaga-lembaga baru. Sudah cukup banyak wadah bagi perwakilan rakyat yang ingin berkontribusi secara langsung dalam praktek ketatanegaraan. Sebagai contoh, DPR kita mempunyai jumlah total anggota sebanyak 550, jumlah yang cukup besar, namun bagaimana kualitasnya ? Jika yang menjadi alasan perlunya lembaga komplemen adalah karena kewenangan MK yang mencakup hal-hal krusial seperti keputusan terhadap perundang-undangan, bisa dilakukan pengaturan lagi terhadap kewenangan lembaga-lembaga negara. Bukankan MK juga lahir dengan cara amandemen terhadap UUD. Sehingga dengan penataan lembaga-lembaga negara dengan lebih baik, serta mekanisme untuk menjaga kinerja personilnya dijaga, dapat dikatakan semua kekurangaan sistem yang ada saat ini bisa dibatasi. Saat ini, yang baru terlihat diperhatikan kualitasnya adalah hakim anggota MK, sementara untuk anggota DPR belum. Bisa jadi dengan persyaratan kualifikasi yang lebih ketat, maka performansi kinerja DPR juga lebih baik.

Referensi

  1. Website resmi Mahkamah Konstitusi. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
  2. Official blog Hamdan Zoelva. http://hamdanzoelva.wordpress.com/

3 comments

  1. Menurut pendapat saya pribadi keberadaan lembaga spt MK masih dibutuhkan sbg mekanisme untuk melakukan kontrol agar produk perundangan yang dihasilkan memenuhi azas keadilan dan agar tidak melenceng dari UUD 45.

  2. hehe, iya Pak, diktator atau otoriter menurut saya ga sepenuhnya jelek juga, dan mungkin memang perlu untuk diterapkan pada masyarakat dengan karakteristik tertentu. Kalau sudah sangat sulit diatur, dan demi ketentraman bersama, mungkin sistem yang kekuasaaanya terpusat seperti itu justru membawa dampak lebih baik.

Leave a comment